Makalah tentang hadis
MAKALAH TENTANG HADITS
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Semua umat Islam telah sepakat
dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al
– Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan mengamalkan hadits
sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al – Qur’an.
Al – Qur’an dan hadits merupakan dua
sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan
mungkin, bisa memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali
kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama pun
tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu
keduanya.
Banyak kita jumpai ayat – ayat Al –
Qur’an dan Hadits – hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits merupakan
sumber hukum islam selain Al – Qur’an yang wajib diikuti, dan diamalkan baik
dalam bentuk perintah maupun larangannya.
Hadits itu sendiri secara istilah
adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik
perkataan, perkataan, segala keadaan, atau perilakunya.
BAB
II
PENGGOLONGAN DAN KLASIFIKASI HADITS
PENGGOLONGAN DAN KLASIFIKASI HADITS
Secara konsepsional bahwa hadits itu
dari satu segimdapat dibagi menjadi dua, yaitu kuantitas dan kualitas. Yang
dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolongan hadits ditinjau dari banyaknya
rowi yang meriwayatkan hadits. Sedangkan hadits berdasarkan kualitasnya adalah
penggolongan hadits dilihat dari aspek diterimanya atau ditolaknya.
2.1 Penggolongan Hadits Berdasarkan
Banyaknya Rawi
Para sahabat dalam menerima hadits
dari Nabi Muhammad SAW. Terkadang berhadapan langsung dengan sahabat yang
jumlahnya sangat banyak karena pada saat nabi sedang memberikan khutbah di
hadapan kaum muslimin, kadang hanya beberapa sahabat bahkan juga bisa terjadi
hanya satu atau dua orang sahabat saja. Demikian itu terus terjadi dari sahabat
ke tabi’in sampai pada generasi yang menghimpun hadits dalam berbagai kitab.
Dan sudah barang tentu informasi yang dibawa oleh banyak rowi lebih meyakinkan
apabila dibandingkan dengan informasi yang dibawa oleh satu atau dua orang rowi
saja. Dari sinilah para ahli hadits membagi hadits menurut jumlah rowinya 1.
2.1.1. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain
2. Hadits mutawatir merupakan hadits
yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi
shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya
mustahil untuk berbohong
3. Tentang seberapa banyak orang yang dimaksud dalam
setiap generasi belum terdapat sebuah ketentuan yang jelas.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-orang yang jumlahnya tidak
ditentukan (la yusha ‘adaduhum) yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk
berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal
mereka yang beragam
4. Sebagian besar ulama sepakat bahwa
hadist mutawatir menimbulkan konsekuensi hukum dan pengetahuan yang positif
(yaqin) dan orang yang menyangkalnya dianggap berbelit akalnya dan tidak bermoral
5. Ulama telah menyepakti bahwa hadits ini dapat dijadikan hujjah baik dalam
bidang aqidah maupun dalam bidang syari’ah
6. Hadits mutawatir memberikan faedah
ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang
diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir
7. Dapat dikatakan bahwa penelitian
terhadap rawi-rawii hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak
diperlukan lagi, karena kuantitas rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat
menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim
menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat
tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang
mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan
mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan
pancaindera).
Sebuah hadits dapat digolongkan ke
dalam hadits mutawatir apabila memenuhi beberapa syarat. Adapun persyaratan
tersebut antara lain adalah sebagai berikut
1. Hadits (khabar) yang diberitakan
oleh rawi – rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap)
pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar – benar merupakan
hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa – peristiwa yang lain dan
yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak
didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut
hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah
untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta
Abu Thayib menentukan sekurang – kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim 9.
Abu Thayib menentukan sekurang – kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim 9.
Ashabus Syafii menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
Sebagian ulama menetapkan sekurang – kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah SWT tentang orang – orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang – orang kafir sejumlah 200 orang.
Sebagian ulama menetapkan sekurang – kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah SWT tentang orang – orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang – orang kafir sejumlah 200 orang.
3. Seimbang jumalah para perawi,
sejak dalam tabaqat (lapisan/ tingkatan) pertama maupun tabaqat berikutnya.
Hadits mutawatir yang memenuhi syarat- syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya,
bahkan Ibnu Hibban dan Al – Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya 10.
DR. Syamssuddin Arif menyimpulkan
bahwa sebuah khabar dapat disebut mutawatir apabila memenuhi syarat sebagai berikut
11:
1. Nara sumbernya harus benar-benar mengetahui apa yang mereka katakannya,
sampaikan dan laporkan. Jadi tidak boleh menduga-duga atau apalagi meraba-raba.
2. Mereka harus mengetahui secara pasti dalam arti pernah melihat,
menyaksikan,mengalami, dan mendengarnya secara langsung tanpa disertai
distorsi, ilusi, dan semacamnya.
3. Jumlah nara sumbernya cukup banyak sehingga tidak mungkin suatu kekeliruan
atau kesalahan dibiarkan atau lolos tanpa koreksi.
Hadits Mutawatir ada 2 yaitu :
1. Mutawatir Lafdzi yaitu mutawatir
redaksinya.
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits
tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam
kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat
12.
2. Mutawatir Ma’nawi yaitu hadits yang isi serta kandungannyadiriwayatkan
secara mutawatir dengan redaksi yang berbeda-beda 13.
Contoh hadits mutawatir maknawi adalah :
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Contoh hadits mutawatir maknawi adalah :
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis
tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi
yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad,
Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
2.1.2. Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir. Keterikatan manusia terhadap substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan kualitas kesinambungan sanadnya 14.
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir. Keterikatan manusia terhadap substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan kualitas kesinambungan sanadnya 14.
Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad
asy- Syaukani menyatakan bahwa kabar wahid atau hadits ahada barau dapat
diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat sebagai berikut 15:
1. Sumbernya harus seorang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban
melaksanakan perintah agama dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu
ucapan anak dibawah umur tidak dapat diterima.
2. Sumbernya harus beragama Islam. Konsekuensinya, tidak dapat diterima khabar
atau cerita dari orang kafir.
3. Nara sumber harus memiliki integritas moral pribadi yang menunjukkan
ktakwaan dan kewibawaan diri (muru’ah) sehingga timbul kepercayaan orang lain
kepadanya, termasuk dalam hal ini meninggalkan dosa-dosa kecil. Atas dasar ini
orang fasiq secara otomatis tidak mempunyai adalah dan ucapan mereka ditolak.
4. Nara sumber harus memiliki kecermatan dan ketelitian, tidak sembrono dan
asal jadi.
5. Nara sumber diharuskan jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan sumber
rujukan dengan cara apa pun, sengaja maupun tidak sengaja.
Di kalangan para ulama ahli hadits terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadits ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama ahli hadits berkeyakinan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk masalah aqidah. Sebab, menurut mereka hadits ahad bukanlah qat’i as-tsubut (pasti ketetapannya). Namun menurut para ahli hadits yang lain dan mayoritas ulama, bahwa hadits ahad wajib diamalkan jika telah memenuhi syarat kesahihan hadits yang telah disepakati.
Di kalangan para ulama ahli hadits terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadits ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama ahli hadits berkeyakinan bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk masalah aqidah. Sebab, menurut mereka hadits ahad bukanlah qat’i as-tsubut (pasti ketetapannya). Namun menurut para ahli hadits yang lain dan mayoritas ulama, bahwa hadits ahad wajib diamalkan jika telah memenuhi syarat kesahihan hadits yang telah disepakati.
Hadits ahad dibagi menjadi tiga
macam, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits garib.
Hadits Aziz, bila terdapat dua jalur
sanad (dua penutur pada salah satu lapisan) 16.
Hadits Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Hadits Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur).
Hadits Garib juga biasa disebut hadits fardun yang artinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap bahwa antara garib dan fardun adalah sinonim, baik secara istilah, tetapi kebanyakan para ahli hadits membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun merujuk kepada garib mutlak, sedangkan istilah garib dipakai pada garib nisbi. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasian hadits garib yang memang menjadi dua bagian, yaitu:
ü Hadits Garib Mutlak (fardun)
Hadits garib mutlak yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu rowi secara sendirian. Kesendirian rowi itu terdapat pada generasi tabi’in atau pada generasi setelah tabi’in, dan bisa juga terjadi pada setiap tingkatan sanadnya.
ü Hadits Garib Nisbi
Yang termasuk sebagai hadits garib nisbi yaitu rowi hadits tersebut sendirian dalam hal sifat ataupun keadaan tertentu. Kesendirian dalam hal sifat atau keadaan rawi mempunyai tiga kemungkinan yaitu, sendirian dalam hal keadilan dan kedabitan, sendirian dalam hal tempat tinggal, sendirian dalam hal rawi 17.
Hadits Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Hadits Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur).
Hadits Garib juga biasa disebut hadits fardun yang artinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap bahwa antara garib dan fardun adalah sinonim, baik secara istilah, tetapi kebanyakan para ahli hadits membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun merujuk kepada garib mutlak, sedangkan istilah garib dipakai pada garib nisbi. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasian hadits garib yang memang menjadi dua bagian, yaitu:
ü Hadits Garib Mutlak (fardun)
Hadits garib mutlak yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu rowi secara sendirian. Kesendirian rowi itu terdapat pada generasi tabi’in atau pada generasi setelah tabi’in, dan bisa juga terjadi pada setiap tingkatan sanadnya.
ü Hadits Garib Nisbi
Yang termasuk sebagai hadits garib nisbi yaitu rowi hadits tersebut sendirian dalam hal sifat ataupun keadaan tertentu. Kesendirian dalam hal sifat atau keadaan rawi mempunyai tiga kemungkinan yaitu, sendirian dalam hal keadilan dan kedabitan, sendirian dalam hal tempat tinggal, sendirian dalam hal rawi 17.
2.2 Klasikfikasi Hadits Berdasarkan
Diterima dan Ditolaknya (Kualitas)
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da’if dan maudu’.
1. Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Sanadnya bersambung; Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya; Haditsnya musnad, maksudnya hadits tersebut disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW; Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (tidak ada ‘illah).
2. Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
3. Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
4. Hadits Maudu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da’if dan maudu’.
1. Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Sanadnya bersambung; Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya; Haditsnya musnad, maksudnya hadits tersebut disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW; Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadits (tidak ada ‘illah).
2. Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
3. Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
4. Hadits Maudu’, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
2.3 Klasifikasi Hadits Dari Segi
Kedudukan Dalam Hujjah
2.3.1 Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil; yang diterima; yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin. Hadits Maqbul ialah hadits yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang termasuk dalam kategori hadits maqbul adalah :
ü Hadits sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
ü Hadits hasan, baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadits maqbul dapat dibagi menjadi 2 yakni hadits maqbulun bihi dan hadits gairu ma’mulin bihi.
2.3.2 Hadits Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaditsin, Hadits Mardud ialah hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Maka, Jumhur Ulama mewajibkan untuk menerima hadits – hadits maqbul, dan sebaliknya setiap hadits yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak). Jadi, hadits mardud adalah semua hadits yang telah dihukumi dhaif.
2.3.1 Hadits Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil; yang diterima; yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin. Hadits Maqbul ialah hadits yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang termasuk dalam kategori hadits maqbul adalah :
ü Hadits sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
ü Hadits hasan, baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadits maqbul dapat dibagi menjadi 2 yakni hadits maqbulun bihi dan hadits gairu ma’mulin bihi.
2.3.2 Hadits Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaditsin, Hadits Mardud ialah hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Maka, Jumhur Ulama mewajibkan untuk menerima hadits – hadits maqbul, dan sebaliknya setiap hadits yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak). Jadi, hadits mardud adalah semua hadits yang telah dihukumi dhaif.
2.4 Klasifikasi Hadits Dari Segi
Perkembangan Sanadnya
2.4.1 Hadits Muttasil
Hadits Muttasil adalah hadits yang didengar oleh masing – masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadits marfu’ maupun hadits mauquf.
2.4.1 Hadits Muttasil
Hadits Muttasil adalah hadits yang didengar oleh masing – masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadits marfu’ maupun hadits mauquf.
2.4.2 Hadits Munqati’
Hadits Munqati’ adalah setiap hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW maupun disandarkan kepada yang lain 18.
Hadits Munqati’ adalah setiap hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW maupun disandarkan kepada yang lain 18.
BAB
III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Hadits merupakan sumber hukum Islam
kedua setelah Al – Qur’an. Di dalam Hadits itu sendiri terpata klasifikasi atau
penggolongan baik dari segi banyaknya rowi yaitu ada hadits mutawatir dan
hadits ahad; dari segi kualitas hadits ada hadits sahih, hadits hasan, hadits
daif , dan hadits maudu’ ; dari segi kedudukan dalam hujjah ada hadits maqbul
dan hadits mardud; dari segi perkembangan sanadnya ada hadits muttasil dan
munqati’.
CATATAN KAKI
1 Najib Kusnanto. 2006. Qur’an
Hadits Madrasah Aliyah. Sragen : Akik Pustaka, hal 27.
3 Prof. DR. Muh. Zuhri. Hadits Nabi : Telaah Historis dan Metodologis. Cetakan II. (Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003) Hal. 83.
4 Nicolas P. Aghnides. Pengantar Ilmu Hukum Islam. Cetakan II. (AB Sitti Sjamsijah, Surakarta, 1968). Hal. 25.
5 Nicolas P. Aghnides. Ibid. Hal. 27.
6 H. Soekama Karya. Opcit. Hal. 93.
8 Dr. Syamsuddin Arif. Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam. Dalam Jurnal ISLAMIA Th. II No. 5. Epistemologi Islam dan Problem Muslim Kontemporer. Hal. 31.
9 Drs. Muhammad Ahmad. 1998. Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia, hal 67.
10 Ibid., hal 67.
13 Prof. DR. Muh. Zuhri. Opcit. Hal. 84-85.
14 Prof. DR. Muh. Zuhri. Opcit. Hal. 86.
15 Dr. Syamsuddin Arif. Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam. Dalam Jurnal ISLAMIA Th. II No. 5. Epistemologi Islam dan Problem Muslim Kontemporer. Hal. 32.
17 Najib Kusnanto. Opcit. Hal. , 47.
18 Drs. Muhammad Ahmad. Opcit., Hal. 82-85.
3 Prof. DR. Muh. Zuhri. Hadits Nabi : Telaah Historis dan Metodologis. Cetakan II. (Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003) Hal. 83.
4 Nicolas P. Aghnides. Pengantar Ilmu Hukum Islam. Cetakan II. (AB Sitti Sjamsijah, Surakarta, 1968). Hal. 25.
5 Nicolas P. Aghnides. Ibid. Hal. 27.
6 H. Soekama Karya. Opcit. Hal. 93.
8 Dr. Syamsuddin Arif. Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam. Dalam Jurnal ISLAMIA Th. II No. 5. Epistemologi Islam dan Problem Muslim Kontemporer. Hal. 31.
9 Drs. Muhammad Ahmad. 1998. Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia, hal 67.
10 Ibid., hal 67.
13 Prof. DR. Muh. Zuhri. Opcit. Hal. 84-85.
14 Prof. DR. Muh. Zuhri. Opcit. Hal. 86.
15 Dr. Syamsuddin Arif. Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam. Dalam Jurnal ISLAMIA Th. II No. 5. Epistemologi Islam dan Problem Muslim Kontemporer. Hal. 32.
17 Najib Kusnanto. Opcit. Hal. , 47.
18 Drs. Muhammad Ahmad. Opcit., Hal. 82-85.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusnanto, Najib (2006). Qur’an
Hadits Madrasah Aliyah. Sragen : AkikPustaka.
2. Zuhri Muh (2003). Hadits Nabi : Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana.
3. Aghnides, Nicolas (1968). Pengantar Ilmu Hukum Islam. Surakarta.
4. Ahmad, Muhammad (1998). Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia.
5. Juanda, Asep (2007). Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia.
2. Zuhri Muh (2003). Hadits Nabi : Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana.
3. Aghnides, Nicolas (1968). Pengantar Ilmu Hukum Islam. Surakarta.
4. Ahmad, Muhammad (1998). Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia.
5. Juanda, Asep (2007). Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia.
0 Response to "Makalah tentang hadis"
Posting Komentar